Jumat, 26 Mei 2017

Ulasan Penokohan Novel Supernova 3: Petir

ulasan penokohan novel supernova 3

            “Supernova 3: Petir” merupakan salah satu novel dari serial Supernova karya Dewi (Dee) Lestari, berisikan keping 37 sampai keping 39 Supernova (keping sepadan dengan bab). Novel ini diterbitkan oleh Bentang pada tahun 2012 dengan x + 268 halaman.

            Novel ketiga dari serial Supernova ini memiliki dua fokus cerita. Fokus cerita pertama adalah keping 37 dengan judul “Kado Hari Jadi” yang berkisah tentang Dimas dan Reuben-dua tokoh yang berasal dari “Supernova 1: Ksatria, Putri , dan Bintang Jatuh”. Keping 37 hanya tersusun dari halaman pertama sampai halaman sepuluh.

            Fokus cerita kedua adalah keping 38 “Petir” dan keping 39 “Dua Siluet yang Berangkulan” yang berkisah tentang Elektra, seorang gadis Bandung keturunan Tionghoa. Elektra merupakan putri dari Wijaya-dipanggil oleh Elektra dengan “Dedi”. Elektra memiliki saudari bernama Watti, mereka berdua piatu dengan Wijaya sebagai single parent mereka. Elektra harus berjuang menghidupi diri sendiri ketika Dedi sudah meninggal, dan Watti pindah bersama Kang Atam-suaminya-ke Tembagapura.

            “Supernova 3: Petir” ditulis dengan gaya bahasa dan sudut pandang yang menarik serta sifat-sifat tokoh yang sangat hidup. Anda dapat merasakan setiap tokoh bernama dalam novel ini berkarakter, sebut saja Elektra yang lugu, dan Mpret yang ekstrovert, serta masih banyak tokoh lainnya yang dapat Anda rasakan karakternya.

            Di samping alur kisah hidup Elektra yang menarik, penokohan Elektra tidak kalah menarik. Alur kisah hidup Elektra turut mengubah karakter Elektra. Dari Elektra muda yang pemalas, suka ikut-ikut, kuper, merasa cukup sebagai pengamat; Berubah menjadi Elektra dewasa yang mempunyai pendirian, bersosialisasi, enterpreneur, dan ikut bermain dalam bioskop kehidupan, tidak hanya menjadi sekadar penonton.

            “Aku, si Bungsi Pemalas yang jarang punya aksi.” (Lestari, 2012: 32) (red: pernyataan Elektra)

            “Acara dibuka dengan kebaktian panjang. Satu nyanyian bisa diulang lima kali, sampai-sampai aku yang tadinya tak tahu lagu bisa jadi hafal. Kulirik Watti, matanya merem melek, tangan melambai-lambai ke udara. Untuk menghilangkan rasa tegang, aku putuskan untuk ikut-ikutan.” (Lestari, 2012: 22) (red: penuturan Elektra)

            “Bagiku, hidup adalah duduk di bangku bioskop yang gelap menontoni kakakku bergulung dengan ombak zaman.” (Lestari, 2012: 32) (red: pernyataan Elektra)

            “Selalu ada tingkah orang yang bisa kukomentari. Ayahku yang jarang ngomong dan Watti yang mulutnya tak bersumpal telah membentukku menjadi seorang penonton bioskop. Cukup menonton. Dan, betapa aku nyaman di kursi gelapku.

            Akan tetapi, kursi itu berguncang hebat pada akhirnya. Ternyata hidup tidak membiarkan satu orang pun lolos untuk cuma jadi penonton. Semua harus mencicipi ombak.” (Lestari, 2012: 36) (red: pernyataan Elektra)

            “Pola bersosialisasiku pun berubah. Dari tak punya teman, ke sedikit teman, sampai akhirnya biasa berteman dengan orang asing.” (Lestari, 2012: 235) (red: pernyataan Elektra)

            “Untuk konsumsi dan sertifikat! Demikian kesimpulanku yang masih terperangkap menjadi pembicara dalam talk show ‘Membedah Bisnis Cyber’ saat ini. Ya, saat ini!” (Lestari, 2012: 291) (red: Elektra bercerita)

            Mpret, kolega Elektra juga berkarakter kuat dan unik.

            “Aku menyukai Toni alias Mpret sejak pertemuan pertama. Barangkali karena semangat hidupnya yang menyala-nyala, atau kegilaannya padadunia digital yang tidak kepalang tanggung, atau kegigihannya (baca: kelicikan) berbisnis, ....

            Mpret bersuara keras dan antibasa-basi. Hobi nomor satunya, melebihi komputer, adalah tertawa. Tawa Mpret ibarat tawa seorang kaisar. Dua detik dia terbahak, satu ruangan seolah wajib untuk ikut. Ada ritme dan nada tertentu dalam tawanya yang menyebabkan kami semua tertulari dengan cepat.

            Ia orang paling menyenangkan sesudah Srimulat, tetapi begitu bicara bisnis, rasanya lebih baik mengobrol dengan nyamuk. Jangan bermimpi bisa seperti supermarket yang mengganti uang kembali dengan permen atau menihilkan lima belas perak dari bon, Mpret akan mengejarmu sampai ke satuan uang terkecil. Satu butir beras pun bisa mengacaukan timbangan, begitu prinsipnya.” (Lestari, 2012: 171-173) (red: Elektra bercerita tentang Mpret)

            Saya ulangi sekali lagi, bahwa Anda dapat merasakan setiap tokoh bernama dalam novel ini berkarakter dengan sifat-sifatnya yang hidup. Banyak tokoh berkarakter selain Elektra dan Mpret yang penulis tidak dapat analisis satu persatu dalam teks ulasan ini. Ada Dimas, Reuben, Watti, Dedi (Wijaya), Ibu Sati, Kewoy, Mi’un, Mas Yono, Bong, dan selainnya adalah tokoh pelengkap.

            Dalam novel ini, Dewi (Dee) Lestari telah berhasil menghidupkan alur dengan sudut pandang pertama yang unik dan menarik (untuk keping 38) dan dengan sudut pandang ketiga yang juga menarik (untuk keping 37 dan 39). Dewi Lestari juga berhasil menghidupkan karakter tokoh-tokoh dalam “Supernova 3: Petir” ini. Penokohan yang disuguhkan oleh Dewi Lestari terdapat baik dalam bentuk dramatik maupun analitik.

            Akhir kata, novel “Supernova 3: Petir” dapat memuaskan Anda dengan ceritanya yang dibungkus dengan alur, sudut pandang, dan penokohan yang baik.

teks oleh: Muhammad Evan Anindya Wahyuaji

Baca juga: Resensi Novel - Supernova 3: Petir karya Dee (Dewi Lestari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar