Kamis, 09 Maret 2017

Analisis Ancaman Militer DI/TII serta Solusi Preventifnya



                  Darul Islam
                Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI [الاسلام دار]) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah kelompok Islam di Indonesia yang bertujuan untuk pembentukan negara Islam di Indonesia. Tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII).
                Gerakan ini dimulai pada 7 Agustus 1942 oleh sekelompok milisi Muslim, dikoordinasikan oleh seorang politisi Muslim radikal, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Kelompok ini mengakui syariat islam sebagai sumber hukum yang valid.

DISekarmadji Maridjan Kartosoewirjo



                Ideologi Darul Islam
              Darul Islam pada 7 Agustus 1949 berproklamasi bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Sunnah". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syariat Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, sesuai dalam Al-Quran Surah ke-5 Al-Maidah ayat 50.
           Artinya: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?
             Atas dasar surat Al-Maidah ayat 50 ini, Darul Islam mengecap ideologi selain Alqur’an dan Hadits adalah hukum jahiliyah.

                Gerakan Darul Islam
                Gerakan Darul Islam dibentuk pada saat Jawa Barat di tinggal oleh Pasukan Siliwangi yang berpindah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam Rangka melaksanakan ketentuan dalam Perundingan Renville. Ketika pasukan Siliwangi berhijrah, gerombolan DI/TII ini dapat leluasa melakukan gerakannya dengan membakar rumah-rumah rakyat, membongkar rel kereta api, menyiksa dan merampok harta benda penduduk. Akan tetapi setelah pasukan Siliwangi mengadakan long march kembali ke Jawa Barat, gerombolan DI/TII ini harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.

                Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
              Gerombolan DI/TII ini tidak hanya di Jawa Barat akan tetapi di Jawa Tengah juga muncul pemberontakan yang didalangi oleh DI/TII. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah  yang bergerak di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan.
             Untuk menumpas pemberontakan ini pada bulan Januari 1950 pemerintah melakukan operasi kilat yang disebut “ Gerakan Banteng Negara “ ( GBN ) di bawah Letkol Sarbini – selanjutnya digantikan Letkol M. Bachrun kemudian oleh Letkol A. Yani). Operasi ini digerakkan oleh pasukan “Banteng Raiders”.
            Sementara itu di daerah Kebumen muncul pemberontakan yang merupakan bagian dari DI/TII , yakni dilakukan oleh “ Angkatan Umat Islam (AUI) “ yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai “Romo Pusat“ atau Kyai Somalangu. Untuk menumpas pemberontakan ini memerlukan waktu kurang lebih tiga bulan.
           Pemberontakan DI/TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan oleh Batalyon 426 yang bergabung dengan DI/TII pada bulan Desember 1951. Untuk menumpas pemberontakan ini Pemerintah melakukan “Operasi Merdeka Timur“ yang dipimpin oleh Letkol Soeharto, Komandan Brigade Pragolo. Pada awal tahun 1952 kekuatan Batalyon pemberontak tersebut dapat dihancurkan dan sisa-sisanya melarikan diri ke Jawa Barat.

                Pemberontokan DI/TII di Aceh
              Gerombolan DI/TII juga melakukan pemberontakan di Aceh yang dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh. Adapun penyebab timbulnya pemberontakan DI/TII di Aceh adalah kekecewaan Daud Beureuh karena status Aceh pada tahun 1950 diturunkan dari daerah istimewa menjadi kresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur Militer menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari Negara Islam Indonesa di bawah Pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiyo.
               Dalam menghadapi pemberontakan DI/TII di Aceh ini semula pemerintah menggunakan kekuatan senjata. Selanjutnya atas prakarsa Kolonel M. Yasin, Panglima Daerah Militer 1/Iskandar Muda, pada tanggal 17-21 Desember 1962 diselenggarakan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang mendapat dukungan tokoh-tokoh masyarakat Aceh sehingga pemberontakan DI/TII di Aceh dapat dipadamkan.

                Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
               Di Sulawesi Selatan juga timbul pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah agar pasukannya yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ( APRIS ). Tuntutan ini ditolak karena harus melalui penyaringan.
               Pemerintah melakukan pendekatan kepada Kahar Muzakar dengan memberi pangkat Letnan Kolonel. Akan tetapi pada tanggal 17 Agustus 1951 Kahar Muzakar beserta anak buahnya melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi dengan melakukan teror terhadap rakyat.
           Untuk menghadapi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan ini pemerintah melakukan Operasi Militer. Baru pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditangkap dan ditembak mati sehingga pemberontakan DI/TII di Sulawesi dapat dipadamkan.

                Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan
                Pada bulan Oktober 1950 DI/TII juga melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos – pos kesatuan TNI.
             Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hajar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota TNI. Ibnu Hajar pun menyerah, akan tetapi setelah menyerah melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi. Selanjutnya pemerintah mengerahkan pasukan TNI sehingga pada akhir tahun 1959 Ibnu Hajar beserta seluruh anggota gerombolannya pun tertangkap.

                Kesalahan Ideologi DI/TII
                Aktivitas mengangkat senjata terhadap penguasa merupakan perkara yang dilarang (haram) selama penguasa itu masih menerapkan hukum Islam. Sebab ketaatan kepada pemimpin merupakan kewajiban. Rasulullah SAW menjadikan perintah taat kepada amîr (pemimpin), seperti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun beda hukumnya apabila seorang pemimpin memerintahkan kepada kemaksiatan atau sudah tidak mendirikan shalat.
             Dari ‘Auf bin Malik al-‘Asyaja’i, Rasulullah SAW bersabda, “Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci, dan dia pun membenci kalian, serta pemimpin yang kalian laknat dan ia pun melaknat kalian.” ‘Auf bin Malik berkata, “Kami pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya.?” Rasulullah menjawab, “Tidak boleh, selama mereka masih menegakan shalat.” (HR Muslim). Yang dimaksud dengan menegakkan shalat dalam hadits ini adalah menerapkan hukum-hukum Allah SWT.

Ir. Soekarno mendirikan shalat
Ir. Soekarno mendirikan shalat
                Namun lihatlah, Ir. Soekarno mendirikan shalat dan tidak memerintah kepada kemaksiatan. Otomatis pemberontakan DI/TII menyalahi hadits riwayat Muslim yang tersebut tadi.

                Solusi
1.       Pertimbangkanlah segala sesuatu sebelum bertindak
2.       Berilmulah agar tidak salah mengambil keputusan
3.       Meningkatkan persatuan dan kesatuan NKRI dengan memupuk nasionalisme
4.       Meningkatkan pertahanan militer NKRI

      DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar