Darul Islam
Negara Islam Indonesia (disingkat NII;
juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI [الاسلام دار]) yang artinya adalah "Rumah
Islam" adalah kelompok Islam di Indonesia yang bertujuan untuk pembentukan
negara Islam di Indonesia. Tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII).
Gerakan
ini dimulai pada 7 Agustus 1942 oleh sekelompok milisi Muslim, dikoordinasikan
oleh seorang politisi Muslim radikal, Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan
Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Kelompok ini mengakui syariat islam sebagai
sumber hukum yang valid.
Ideologi Darul Islam
Darul
Islam pada 7 Agustus 1949 berproklamasi bahwa "Hukum yang berlaku dalam
Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam
undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan
"Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Sunnah". Proklamasi Negara
Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat
undang-undang yang berlandaskan syariat Islam, dan penolakan yang keras
terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, sesuai dalam Al-Quran
Surah ke-5 Al-Maidah ayat 50.
Artinya:
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? dan siapakah yang lebih baik
hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?
Atas
dasar surat Al-Maidah ayat 50 ini, Darul Islam mengecap ideologi selain
Alqur’an dan Hadits adalah hukum jahiliyah.
Gerakan Darul Islam
Gerakan
Darul Islam dibentuk pada saat Jawa Barat di tinggal oleh Pasukan Siliwangi
yang berpindah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam Rangka melaksanakan
ketentuan dalam Perundingan Renville. Ketika pasukan Siliwangi berhijrah,
gerombolan DI/TII ini dapat leluasa melakukan gerakannya dengan membakar
rumah-rumah rakyat, membongkar rel kereta api, menyiksa dan merampok harta
benda penduduk. Akan tetapi setelah pasukan Siliwangi mengadakan long march kembali ke Jawa Barat,
gerombolan DI/TII ini harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Gerombolan
DI/TII ini tidak hanya di Jawa Barat akan tetapi di Jawa Tengah juga muncul
pemberontakan yang didalangi oleh DI/TII. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
di bawah pimpinan Amir Fatah yang
bergerak di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan.
Untuk
menumpas pemberontakan ini pada bulan Januari 1950 pemerintah melakukan operasi
kilat yang disebut “ Gerakan Banteng Negara “ ( GBN ) di bawah Letkol Sarbini –
selanjutnya digantikan Letkol M. Bachrun kemudian oleh Letkol A. Yani). Operasi
ini digerakkan oleh pasukan “Banteng Raiders”.
Sementara
itu di daerah Kebumen muncul pemberontakan yang merupakan bagian dari DI/TII ,
yakni dilakukan oleh “ Angkatan Umat Islam (AUI) “ yang dipimpin oleh Kyai Moh.
Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai “Romo Pusat“ atau Kyai Somalangu. Untuk
menumpas pemberontakan ini memerlukan waktu kurang lebih tiga bulan.
Pemberontakan
DI/TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan oleh Batalyon
426 yang bergabung dengan DI/TII pada bulan Desember 1951. Untuk menumpas
pemberontakan ini Pemerintah melakukan “Operasi Merdeka Timur“ yang dipimpin
oleh Letkol Soeharto, Komandan Brigade Pragolo. Pada awal tahun 1952 kekuatan
Batalyon pemberontak tersebut dapat dihancurkan dan sisa-sisanya melarikan diri
ke Jawa Barat.
Pemberontokan DI/TII di Aceh
Gerombolan
DI/TII juga melakukan pemberontakan di Aceh yang dipimpin oleh Teuku Daud
Beureuh. Adapun penyebab timbulnya pemberontakan DI/TII di Aceh adalah
kekecewaan Daud Beureuh karena status Aceh pada tahun 1950 diturunkan dari
daerah istimewa menjadi kresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Pada
tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur
Militer menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari Negara Islam Indonesa di
bawah Pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiyo.
Dalam
menghadapi pemberontakan DI/TII di Aceh ini semula pemerintah menggunakan
kekuatan senjata. Selanjutnya atas prakarsa Kolonel M. Yasin, Panglima Daerah
Militer 1/Iskandar Muda, pada tanggal 17-21 Desember 1962 diselenggarakan
“Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang mendapat dukungan tokoh-tokoh
masyarakat Aceh sehingga pemberontakan DI/TII di Aceh dapat dipadamkan.
Pemberontakan
DI/TII di Sulawesi Selatan
Di
Sulawesi Selatan juga timbul pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar
Muzakar. Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah
agar pasukannya yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan
dimasukkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ( APRIS ).
Tuntutan ini ditolak karena harus melalui penyaringan.
Pemerintah
melakukan pendekatan kepada Kahar Muzakar dengan memberi pangkat Letnan
Kolonel. Akan tetapi pada tanggal 17 Agustus 1951 Kahar Muzakar beserta anak
buahnya melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi dengan melakukan teror
terhadap rakyat.
Untuk
menghadapi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan ini pemerintah melakukan
Operasi Militer. Baru pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditangkap
dan ditembak mati sehingga pemberontakan DI/TII di Sulawesi dapat dipadamkan.
Pemberontakan
DI/TII di Kalimantan Selatan
Pada
bulan Oktober 1950 DI/TII juga melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan
yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan
menyerang pos – pos kesatuan TNI.
Dalam
menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan
pendekatan kepada Ibnu Hajar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan
diterima menjadi anggota TNI. Ibnu Hajar pun menyerah, akan tetapi setelah
menyerah melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi. Selanjutnya
pemerintah mengerahkan pasukan TNI sehingga pada akhir tahun 1959 Ibnu Hajar
beserta seluruh anggota gerombolannya pun tertangkap.
Kesalahan Ideologi DI/TII
Aktivitas
mengangkat senjata terhadap penguasa merupakan perkara yang dilarang (haram)
selama penguasa itu masih menerapkan hukum Islam. Sebab ketaatan kepada
pemimpin merupakan kewajiban. Rasulullah SAW menjadikan perintah taat kepada
amîr (pemimpin), seperti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun beda
hukumnya apabila seorang pemimpin memerintahkan kepada kemaksiatan atau sudah
tidak mendirikan shalat.
Dari
‘Auf bin Malik al-‘Asyaja’i, Rasulullah SAW bersabda, “Seburuk-buruk pemimpin
kalian adalah pemimpin yang kalian benci, dan dia pun membenci kalian, serta
pemimpin yang kalian laknat dan ia pun melaknat kalian.” ‘Auf bin Malik
berkata, “Kami pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya.?”
Rasulullah menjawab, “Tidak boleh, selama mereka masih menegakan shalat.” (HR
Muslim). Yang dimaksud dengan menegakkan shalat dalam hadits ini adalah menerapkan
hukum-hukum Allah SWT.
Namun
lihatlah, Ir. Soekarno mendirikan shalat dan tidak memerintah kepada
kemaksiatan. Otomatis pemberontakan DI/TII menyalahi hadits riwayat Muslim
yang tersebut tadi.
Solusi
1. Pertimbangkanlah
segala sesuatu sebelum bertindak
2. Berilmulah
agar tidak salah mengambil keputusan
3. Meningkatkan
persatuan dan kesatuan NKRI dengan memupuk nasionalisme
4. Meningkatkan
pertahanan militer NKRI
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar